HAJI dalam konteks tradisi umat Islam di Indonesia dinisbahkan dengan
gelar atau titel. Siapa pun, usai menunaikan ibadah ini, seolah-olah
telah lulus menempuh sekolah sehingga memperoleh gelar atau titel
”haji” di depan nama aslinya. Bahkan, nama pemberian orang tua
tercinta kadang ”dilupakan”. Orang sekeliling lebih sering menyapa
dengan gelar hajinya.
Kebiasaan yang sedikit mirip terjadi di kalangan Muslim di Malaysia,
meskipun tidak seformal di Indonesia. Kadang-kadang, ada panggilan
didahului ”gelar keagamaan” semacam itu. Lain halnya di Indonesia,
titel ”haji” melekat pada siapa pun yang telah menempuh ibadah haji
sejajar dengan gelar kesarjanaan. Bahkan, dalam administrasi
kenegaraan, sehingga terkesan ”wajib” mencantumkan gelar haji. Dalam
perspektif rukun Islam, haji bukan dimaksudkan titel, melainkan
pencerminan tingkatan pelaksanaan keberagamaan. Ibadah ini diposisikan
sebagai puncak tertinggi dari aksentuasi tingkat keberagamaan seorang
Muslim.
Mengapa yang berkembang haji sebagai titel di Indonesia? Tidak
diperoleh data kepustakaan yang sahih untuk menjelaskan asalnya haji
menjadi titel. Dari segi sejarah Islam, ibadah haji ialah syariat yang
dibawa oleh junjungan Nabi Muhammad saw. untuk menyambung tradisi yang
dirintis oleh Nabi Ibrahim a.s. Sampai akhirnya, Allah SWT menetapkan
haji sebagai ”ibadah diwajibkan” bagi setiap Muslim mulai pada tahun
ke-6 Hijriah.
Ketentuan Allah SWT ini tertuang dalam Surat Ali Imran (3) ayat 97:
”Dan Allah Ta’ala mewajibkan manusia mengerjakan ibadah haji dengan
mengunjungi Baitullah bagi siapa yang mampu dan
berkuasa sampai kepada-Nya...”
Rasulullah bersama 1.500 jemaah pada tahun tersebut gagal menunaikan
ibadah haji karena tentara Quraisy Makah menghadangnya. Penghadangan
ini yang kemudian berkembang dengan upaya diplomasi ”dua negara”
antara Madinah dan Makah. Kemudian, hasil diplomasi ini menghasilkan
perjanjian Hudaibiyah.
Setahun pascaperjanjian Hudaibiyah, Rasulullah bersama sekira 2.000
jemaah memperoleh kesempatan menunaikan ibadah umrah secara damai.
Rasulullah baru menunaikan ibadah haji yang pertama dan terakhir pada
tahun ke-10 Hijriah. Pimpinan rombongan diserahkan kepada Abu Bakar
Asshidiq.
Dari sebuah riwayat, Rasulullah digambarkan dari Madinah menuju Makah
pada Sabtu, 25 Zulkaidah tahun ke-10 Hijriah diiringi keluarga dan
sahabat serta sekira 90 ribu orang Islam. Setelah menempuh perjalanan
sembilan hari, Rasulullah dan rombongan tiba di Makah pada 4
Zulhijjah. Empat hari berikutnya (8 Zulhijjah), Rasulullah dan
rombongan tiba di Mina dan bermalam. Dilanjutkan wukuf ke Arafah hari
berikutnya (Jumat, 10 Zulhijjah). Beliau menyempurnakan seluruh
prosesi rukun haji sampai 13 Zulhijjah. Hari berikutnya, beliau
meninggalkan Makah dan pulang kembali ke Madinah.
Sejarah yang membahas perjalanan hidup Nabi Muhammad tidak satu pun
menceritakan bahwa Rasulullah me-nyandang titel ”haji” seteleh
manunaikan iba-dah ini. Bahkan, dalam judul-judul buku klasik sampai
kontemporer, penulisan Muhammad sebagai nabi maupun pribadi tidak
pernah diawali dengan ”Haji Muhammad” atau ”Haji Nabi Muhammad”.
Satu kali
Tradisi lain dalam konteks ibadah haji bagi umat Islam di negeri ini
adalah pengulangan. Seorang Muslim yang mampu secara ekonomi, termasuk
para artis, banyak melakukan pengulangan ibadah haji sampai lebih dari
satu kali dalam hidupnya. Ala-sannya, hatinya terasa rindu berat
dengan Baitullah.
Dari berbagai sumber sejarah diperoleh data, Rasulullah hanya satu
kali menunaikan ibadah haji. Sahabat dan tabi’in belakangan
memopularkan aktivitas ibadah Rasulullah ini dengan istilah Hijjatul
Wada’/Hijjatul Balagh/Hijjatul Islam/Hijjatuttamam Wal Kamal.
Penyebutan istilah ini untuk memberi penegasan, pasca-Rasulullah wafat
tidak berapa lama setelah melaksanakan haji pertama dan terakhir.
Kita bisa saja berandai-andai, kalau saja Rasulullah tidak terlalu
cepat dipanggil ke hadirat Allah SWT, bisa jadi menunaikan ibadah haji
beberapa kali. Pengandaian semacam ini tentu boleh-boleh saja.
Lain halnya kita bicara fakta. Rasulullah bisa saja melaksanakan
ibadah haji lebih satu kali, karena pascaperjanjian Hudaibiyah beliau
memiliki kesempatan sejak tahun ke-8 Hijriah.
Ketika itu, Rasulullah, sahabat, dan umat Islam lainnya terbuka lebar
untuk memasuki Makah. Nyatanya, Rasulullah tidak melakukan ”aji
mumpung”. Beliau dan rombongan hanya menggunakan kesempatan satu kali
untuk menunaikan ibadah umrah. Demikian halnya setelah ibadah haji
pada tahun ke-10 Hijriah, Rasulullah tidak mengulangi lagi ibadah yang
sama.
Kebijakan Rasulullah mendahulukan ibadah umrah mengisyaratkan, seorang
Muslim memerlukan prakondisi mental sebelum menunaikan ibadah
paripurna (haji), sehingga umrah menjadi persiapan prahaji.
Umrah dalam konteks ini memiliki nilai ibadah yang strategis. Seluruh
prosesi di dalam umrah bisa memberi gambaran seorang Muslim tentang
sistematika rukun haji, teknis-teknis peribadatan haji, kondisi dan
situasi seluruh lokasi ibadah haji. Dengan menafsirkan posisi ibadah
umrah semacam ini, kita bisa menggarisbawahi bahwa umrah bukan
perjalanan wisata seperti halnya sekarang ini.
Nilai ibadah umrah dalam konteks kontemporer tidak lebih sebagai
pelipur lara bagi orang-orang berduit, sebab antara nilai ibadah
dengan pesiar atau wisata sudah tipis bedanya. Format yang diinginkan
sedianya paket two in one, yaitu ibadah sekaligus pesiar. Pada
praktiknya, batas ibadah dan pesiar menjadi kabur.
Model perjalanan Rasulullah yang hanya secara singkat menuaikan ibadah
umrah dilanjutkan pulang ke Madinah, bisa dijadikan pelajaran bahwa
beliau menempatkan ibadah umrah bukan bagian dari perjalanan wisata
atau pesiar. Ketika dua tahun berikutnya beliau menunaikan haji, itu
memberi makna lain. Umrah ditempatkannya sebagai persiapan menjelang
pelaksanaan ibadah paripurna.
Posisi haji sebagai ibadah paripurna memberi isyarat bahwa segala
sesuatu yang sempurna hanya satu, tidak dua. Dalam konteks aktivitas
tidak terulang yang kedua kalinya. Dalam keseharian, kita sering
memaknai yang sempurna secara superlatif. Seperti kalimat ”hari ini
sempurna, besok harus lebih sempurna”.
Tradisi latah semacam itu berdampak pada perilaku umat Islam dalam
menempatkan ibadah haji. Terdapat penafsiran bahwa kesempurnaan ibadah
bisa mencapai tahapan yang ”paling paripurna” ketika seseorang bisa
melaksanakan ibadah haji tujuh kali. Di kalangan masyarakat tertentu
masih terdapat persepsi semacam ini.
Bercermin dari peristiwa haji Rasulullah, beliau hanya menunaikan
ibadah haji satu kali. Tidak berarti seorang Muslim dilarang
melaksanakan ibadah ini lebih satu kali. Tidak terdapat nash maupun
hadis yang mengatur berapa kali seorang Muslim berhaji. Yang tertera
adalah, ”Setiap Muslim yang mampu” dalam konteks materi dan fisik.
Banyak orang yang mampu secara fisik dan materi untuk melaksanakan
haji beberapa kali. Sebanyak itu pula yang bersangkutan melaksanakan
ibadah ini hanya memperoleh gelar haji, tanpa memberi makna perubahan
sosial signifikan terhadap kesalihan hidup dan lingkungan tempat ia
tinggal.
Makna haji
Para mufasir dan ahli agama Islam lain memberi penafsiran tentang
sejumlah keutamaan haji. Salah satunya, haji derajatnya sama dengan
jihad fi sabilillah. Rasulullah dalam suatu kesempatan menyatakan,
apabila seseorang — terutama orang tua, orang yang lemah, dan wanita —
mati sewaktu menunaikan ibadah haji, bisa saja digolongkan matinya itu
seperti mati syahid. ”Bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi saw.,
katanya, saya ini penakut dan saya ini lemah. Ujar Nabi, ayolah
berjihad yang tidak ada kesulitannya, yaitu menunaikan haji” (HR.
Thabrani dari Husein bin Ali).
Dr. Ali Syariati dalam buku Makna Haji menempatkan ibadah ini sebagai
pembebas diri. Pembebasan diri ini dimaknai bebas dari penghambaan
kepada tuhan-tuhan palsu menuju penghambaan kepada Tuhan Yang Sejati.
Dengan demikian, haji bukan sebuah ritual fisik semata.
Ia menempatkan, ibadah ini ibarat prosesi revolusi spritual secara
lahir dan batin. Dalam pembahasan buku lain, cermin revolusi haji bisa
dilihat dari penampilan al-hajj dalam sosok pencerahan atau rausan
fikr.
Predikit demikian tentu saja tidak segampang meraihnya. Banyak kasus,
Muslimin pergi haji selain untuk pesiar, tidak sedikit yang sekadar
untuk memanfaatkan momentum bisnis. Pulangnya, membawa gelar haji
sekaligus seonggok barang yang memiliki nilai ekonomis.
Mencapai derajat tertinggi haji yang digambarkan Rasulullah dan
dijabarkan mufasirin, memerlukan kerja keras. Yang paling mendasar,
pengkajian ulang tentang nilai ibadah haji.
Ketika nilai-nilai dasar ibadah haji dipahami, kita baru bisa meresapi
hakikat haji. haji dalam konteks ibadah bukanlah cerminan memperoleh
strata sosial tertentu karena titelnya sebagai ibu atau bapak haji
layaknya seorang tamat kuliah memperoleh gelar kesarjanaan haji dan
dipasangnya simbol topi putih dan jubah. Haji merupakan revolusi
ibadah yang mendorong pada pencapaian kesalihan spiritual dan sosial.
Jadi, jangan sekadar bangga ingin dipanggil ”Pak Haji”.***
sumber:
http://groups.yahoo.com/group/surau/message/19583